Cerpen - Saat Cinta Tak Berpihak



"Mama gak mau tau, pokoknya kamu harus akhiri hubunganmu dengan gadis miskin itu. Kamu itu satu-satunya penerus keluarga Winata!".

"Mana mungkin aku bisa jauh dari dia." Pemuda itu menjawab dengan nada tak percaya.

"Kami sudah menjodohkan kamu dengan anak teman papamu. Ia cantik, menarik, pintar, dan tentu saja tidak kampungan seperti dia!" Ucap sang mama dengan nada sinis.

"Tapi mah, aku sayang dia."

"Gak ada tapi-tapian, dengar kata mama atau kamu akan benar-benar kami coret dari daftar keluarga besar kita."

TESS..! 

Tanpa ku sadari butir-butir bening mulai membasahi pelupuk mataku. Rasanya sulit untuk ku pahami akan rencana Rabb ku. Mencintai seseorang bukanlah hal yang mudah untuk ku lakukan. Aku butuh waktu bertahun-tahun untuk meyakinkan diriku bahwa aku memang jatuh cinta. Rafa, anak pengusaha kaya yang penuh dengan kesederhanaan mampu membuat jantungku berdetak kencang setiap kali aku menyebut namanya. Membuat waktu seakan-akan berhenti saat aku sedang bersamanya. Lalu kini? Hal yang aku takutkan terjadi. Mau tak mau aku harus siap kehilangan cintaku.
***
Namaku Zhafa Oktamelani. Aku memang tidak terlahir dalam keadaan cacat. Namun nasibku benar-benar mengenaskan. Ibuku meninggal saat melahirkanku. Dan ayahku? Entahlah, aku tak pernah tahu ia berada dimana. Ayahku marah dengan diriku, karena menurutnya ia kehilangan ibuku karena melahirkan aku.
Aku hanya dibesarkan oleh nenekku. Hidup kami serba kekurangan. Nenek hanya seorang penjahit. Karena beliau semakin tua, hasil jahitannya tentunya semakin kurang bagus jika dibandingkan dengan penjahit-penjahit muda lainnya. Yang akhirnya menyebabkan pelanggan nenek semakin hari semakin berkurang.
Malangnya, nenek meninggalkan aku untuk selama-lamanya ketika aku berusia 12 tahun. Aku benar-benar hidup sebatang kara. Hanya gubuk kecil nan sederhana yang nenek tinggalkan. Aku tak mau putus sekolah. Zhafa kecil akhirnya rela mengorbankan masa kecilnya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Aku tak pernah malu untuk melakukan berbagai pekerjaan. Bisa kalian bayangkan betapa susahnya kehidupanku? Pulang sekolah aku langsung bekerja tanpa henti hanya demi sesuap nasi. Bahkan tidak jarang aku sampai puasa berhari-hari. 

"Kita memang miskin, tapi jangan pernah mencuri ataupun meminta belas kasihan orang lain untuk mencapai sesuatu yang kita inginkan. Tetap berusaha, karena Allah telah mengatur semuanya." Ucap nenek terbata-bata sebelum akhirnya beliau benar-benar pergi meninggalkan aku.

8 tahun kemudian …

Aku baru saja pulang dari kampus. Langit hanya diterangi oleh sang rembulan nan indah dan tentu saja ribuan bintang. Aku berhasil masuk ke salah satu PTN ternama. Masalah biaya? Bagusnya aku cukup berprestasi sehingga aku bisa mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikanku.
Kakiku terus menyusuri gang sempit menuju perumahan kumuh peninggalan nenek. Tiba-tiba kepalaku terasa sangat berat. Aku hampir saja kehilangan keseimbangan. Namun sepertinya ada sepasang tangan yang menahan tubuhku yang hampir tumbang. Jarak ke rumahku hanya tinggal menghitung langkah. Pemuda itu membantuku menuju rumah. Itulah awal perkenalanku dengan pemuda tampan yang akhirnya ku ketahui bernama Rafa, Rafa Andrea Winata.
Semakin hari aku dan Rafa semakin dekat. Lelaki sederhana dengan 1001 kejutan. Walaupun sebenarnya ia bisa saja memanfaatkan kekayaan ayahnya. Yang aku tau, ia tak pernah memilih dalam berteman. Ia bahkan tak suka jika orang lain menghormatinya karena ia anak seorang pengusaha kaya. Tak bisa dipungkiri rasa ini pun semakin bersemi. Tapi aku cukup tau diri.
Hari ini genap dua tahun aku menjadi teman dekat Rafa, dan ia belum juga menyatakan isi hatinya. Aku mulai berfikir mana mungkin anak orang kaya ini tertarik kepada anak yatim piatu miskin sepertiku. Namun semakin aku berusaha menjaga jarak, ia semakin sering melakukan hal ajaib yang mampu meluluhkan hatiku. Oke, aku akui aku sangat mencintai Rafa!
Hari ini Rafa mengajakku ke rumahnya. Katanya ia ingin mengenalkanku dengan kedua orang tuanya. Aku hampir tak percaya. Hatiku tak berhenti berdebar semenjak mendengar berita itu. Ku gunakan pakaian terbagusku. Walaupun untuk ukuran keluarganya, ini tak lebih dari kain lap.
***

Aku berlari sekencang mungkin. Hatiku hancur, benar-benar hancur. Rafa memang bukan kekasihku, tapi aku belum sanggup untuk kehilangannya. Tapi seharusnya dari awal aku sadar, harusnya aku tau diri! Kalo aku dan dia tidak mungkin bisa bersatu.
Butiran bening terus menetes. Pelupuk mataku terasa panas. Aku tak tahu sudah berapa banyak tetes yang mengalir dari mataku. Sejuknya pemandangan danau, kembali mengingatkanku dengan masa indah kami. Tangan kekar itu berusaha mengusap setiap tetesan air mataku. Entahlah, sejak kapan ia berada disini. Aku tertegun cukup lama, melihat siapa pemilik tangan itu. 

DEGG..!

Rasanya ingin sekali aku menghamburkan diriku dalam pelukannya, menceritakan sakitku. Tapi aku bertahan sebisa mungkin.

*Hening..* 

Kami tak bersuara. Hanya saja fikiran kami tak berhenti bekerja. Kembali memutar inchi demi inchi dari setiap memori. Lagi dan lagi, aku merasa keberuntungan tak pernah berpihak kepadaku.
"Jangan biarkan air mataku jatuh di depannya ya Rabb. Aku tak ingin terlihat selemah ini." Ucapku di dalam hati sambil meremas pahaku dan berharap sakit hatiku bisa segera pindah ke pahaku.
"Pulanglah.. Sebentar lagi hujan turun." Ucapnya lembut.
Aku menggeleng. "Kamu pulang aja duluan, aku masih mau di sini."
"Mana mungkin aku membiarkanmu sendiri di sini? Ayolah Zhafa, berhentilah membuatku takut."
"Apa yang perlu kau takutkan Rafa? Aku baik-baik saja di sini!" Ucapku sinis.
"Rafa.." Lembut sekali. Aku menengok, mencari sumber suara itu.
"Monica? Ngapain kamu ke sini?" Rafa kaget akan kedatangan orang lain ditempat ini.
"Tante Indah nyuruh kamu pulang. Ayo kita pulang."
"Hei, apa kamu tak melihat aku sedang bersama kekasihku? Mana mungkin aku tinggalkan ia sendirian. Apa kamu gila?" Bentak Rafa.
"Tak bisakah kamu bersikap lebih lembut kepadaku? Aku ini tunanganmu!" Monica mulai berkaca-kaca, aku mampu merasakan sakitnya.
"Cukup Rafa! Pulanglah. Aku akan baik-baik saja di sini. Kasian tunanganmu." Ucapku seolah-olah aku benar-benar tidak cemburu. Padahal hatiku? Aah, rasanya cengkraman di pahaku pun tak mampu mengurangi sakit ini. Hancur! Benar-benar hancur. 

Hujan mulai turun. Deras, sangat deras. Satu jam setelah kepergian Rafa dan tunangannya, aku masih memilih tak bergeming dari tempatku. Menikmati tetes demi tetes hujan yang membasahi tubuhku. Air mataku mengalir bersama air hujan. Meratapi nasibku, rasanya Tuhan tak pernah adil. Rasanya tak ada satu orangpun yang menginginkan kehadiranku.
***

14 Juli 2014 

Aku segera bergegas membuka pintu. Siapa yang datang bertamu malam-malam begini fikirku. Aku hampir mampu bangkit dan melupakan kejadian beberapa minggu lalu dan kembali menutup hatiku. Bukan main! Aku benar-benar terkejut. Apa aku tak salah lihat? Ini Rafa kan? Tapi bukankah besok hari pernikahannya? Kenapa ia ke sini? Beribu pertanyaan mengganggu di otakku.
"Boleh aku masuk? Aku merindukanmu Chacha."
"Berhenti memanggiku seperti Rafa! Masuklah." Ucapku dingin. Chacha itu panggilan kesayangan Rafa untukku.
"Aku merindukanmu. Rindu melihatmu tertawa, rindu melihatmu bertingkah seperti anak kecil, rindu akan marahmu, rindu melihat kamu ngambek. Semuanya aku rindukan."
"Mana mungkin kamu bisa merindukan orang lain sementara besok kamu akan menikah. Laki-laki macam apa kamu ini!"
"Aku tak pernah mencintainya. Hanya kamu yang aku cinta. Tapi keadaan yang membuatku begini." Mata Rafa mulai berkaca-kaca.
"Sudahlah Rafa! Berhenti menyalahkan keadaan. Ini sudah takdir untuk kita berdua. Terima saja takdir ini."

Aku masih terus dingin. Walaupun sebenarnya aku juga ingin memeluknya, bersikap halus seperti dulu. Aku hanya takut tak mampu mengontrol perasaanku ketika ia telah benar-benar termiliki oleh orang lain. 

*Hening..* 

"Pulanglah Rafa. Ini sudah malam. Aku tak ingin ada pembicaraan orang tentang kita berdua. Semoga kamu bahagia, aku akan usahakan untuk datang ke pernikahanmu." Ucapku lirih.
Tiba-tiba saja Rafa memelukku. Semakin aku berusaha melepaskan pelukannya, ia semakin mempererat pelukan itu. Ia seperti akan pergi jauh, dan takut meninggalkanku.
"Aku mencintaimu Cha, sekarang dan selamanya. Kalaupun pada akhirnya kita tidak mampu bersama, aku hanya berharap kita saling mengenang. Kamu itu hadiah terindah yang Allah ciptakan untukku. Aku memang tak pantas memiliki gadis istimewa sepertimu. Sampai kapanpun hatiku akan tetap milikmu. Tetap ceria sayang. Aku mencintaimu dengan segenap jiwa dan ragaku. Dan kamu tau bukan, bahwa tidak semua kisah cinta akan berakhir dengan happy ending. Tapi ketahuilah, ini adalah kisah cintaku yang paling sempurna. Maafkan aku yang tak mampu membahagiakanmu." Ucapnya lirih. 

Kurasakan pundakku telah basah karena air matanya. Akupun menangis dalam pelukannya. Kembali bernostalgia dengan kisah kami dulu dan akhirnya tersadar bahwa kami memang harus terpisah. Walaupun bukan sepasang kekasih, namun kami saling mencintai. 

"Aku juga mencintaimu Raf.." Ucapku tanpa sadar. Rafa mencium keningku sekilas, lalu akhirnya pulang untuk menyiapkan pesta pernikahannya besok.
***

15 Juli 2014
07.00 AM 

Aku tengah membereskan tempat tidurku. Mengumpulkan baju-baju kotor. Hoaam, akhirnya selsai juga, keluhku. Aku masih tak percaya bahwa tadi malam aku menjanjikan Rafa untuk datang ke acaranya hari ini. Mana mungkin aku sanggup melihat pujaanku bersanding dengan orang lain. 

Drrrt.. Drrrttt.. Drrtt.. 

Siapa yang mengganggu hayalanku ini. Ah, pagi-pagi udah ganggu orang. Apa ia tak mengerjakan pekerjaan rumahnya sepertiku hingga ia memiliki waktu untuk mengganggu orang lain? Umpatku dalam hati.
"Halo.." Ucapku malas.
"Halo Zhafa, ini tante Indah. Rafa udah..." Tante Indah berkata sangat terbata-bata. Rafa? Rafa kenapa? Apa yang terjadi?
"Kenapa tante? Rafa kenapa?" Ucapku tak sabaran.
"Rafaa udah..ning..ninggalin kita. Semalam ia kecelakaan." 

TUKK..!

Handphoneku terlepas begitu saja. Aku seperti tak punya kekuatan untuk menahannya. Aku bersimpuh begitu saja di lantai. Tulangku tak sanggup memapahku lagi. Oh Tuhan..

*Pemakaman Umum* 

"Rafa.. Kamu bener-bener udah ninggalin aku. Katanya kamu mau jaga aku. Kok sekarang pergi? Aku ikhlas, aku ikhlas liat kamu nikah sama orang lain, tapi jangan pergi untuk selamanya." Isak tangisku menjadi pembatas dari setiap kata-kataku.
"Zhafa.. Maafkan tante yang sempat memisahkan kalian. Ayo kita pulang sayang." Ajak tante Indah.
"Tante pulang aja duluan, Zhafa masih mau di sini. Masih mau temani Rafa. Kasian Rafa sendirian di dalam sana." Aku benar-benar tak memikirkan setiap ucapan yang keluar dari mulutku.
"Hiks.. Hiks.. Maafkan tante sayang. Ini Rafa sempat tulis surat buat kamu semalam. Dia minta tante ngasih ke kamu."

" 14 Juni 2014..
Teruntuk gadis pujaanku..

Cha, aku gak nyangka kalo tadi itu pertemuan terakhir kita. Pantes rasanya aku gak mau ngelepas pelukanku. Aku ingin lebih lama menghirup aroma tubuhmu. Aku ingin menghafal inchi demi inchi dari bagian tubuhmu. Aku mencintaimu Cha.

Mungkin kalo kamu baca surat ini, aku udah gak ada. Maafin aku ya, karena gak bisa jaga kamu lagi. Maafin aku, udah gak bisa temani kamu lagi. Aku sayang kamu Cha.

Dokter sebenarnya udah ngelarang aku buat nulis surat ini. Tapi aku bersyukur karena setelah kecelakaan itu aku masih bisa sadar. Ini kenangan terakhirku. Disimpen yaa. Aku gak jadi nikah kok sama Monic. Kamu tenang aja ya, aku hanya akan menjadi milikmu.

Cha, aku bener-bener udah gak kuat sekarang. Kamu bisa liat kan tulisanku semakin acak-acakan. Tanganku semakin lemah. Percaya ya sama aku, walaupun kita udah beda nanti, aku pasti akan sering-sering liat kamu dari sana. Gak ada yang bisa pisahkan kita berdua. Aku pasti akan merindukanmu.

Kamu baik-baik ya di sini. Aku doain kamu bisa nemuin yang lebih baik dari aku. Nanti jangan lupain aku ya. Aku pasti sedih banget deh kalo kamu lakuin itu.

Udah ya Cha, tanganku bener-bener lelah. Aku butuh istirahat. Selamat tinggal bidadariku, pujaan hatiku, Zhafa Oktamelani. Aku mencintaimu.

Peluk Cium

Rafa Andrea Winata"


Kulihat ada bekas bercak darah dan tetesan air mata. Aku tak pernah menyangka kisahku akan seperti ini. Akhirnya akupun sadar. Sekuat apapun kita berusaha mempertahankan, semampu apapun kita menutup celah yang tercipta, jika tidak berjodoh tetap saja akan terpisah.
Selamat tinggal Rafa Andrea Winata, sang pangeran penaklukku. Aku hanya mampu mengirimkan doa dari sini. Terimakasih untuk semua pelajaran yang kamu berikan. Aku juga mencintaimu. Kamu tenang ya di sana :*:)

The End ..


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lepas Dirimu dari Zona Nyamanmu, Kau akan Temukan Sesuatu yang Tak Pernah Kau Bayangkan

Dua Pilar Utama untuk Menciptakan Bisnis yang Berkelanjutan

Untukmu: Lelaki yang Sempat Membuatku Porak Poranda, Percayalah Tuhan adalah Sutradara Terbaik